top of page
  • Instagram

Bincang Bincang
- Ida Farida  - 

BANK SAMPAH

69A1FFE2-FD29-462A-AFA8-E3DE48F8B727.JPG

Santi Novianti

Awalnya karena saya suka traveling ke berbagai tempat agak terganggu dengan masalah sampah yang ada dimana-mana. Keprihatinan permasalahan sampah di Indonesia ini yang memotivasi. Masalah sampah yang tidak pernah usai, harus berbuat sesuatu dan harus mulai dari diri sendiri. 

S__12861825_edited.jpg

Ida Farida

Ida Farida merupakan inisiator bank sampah dan bank jelantah warga sejak 2017. Ia mulai mengenal hijrah hidup minim sampah di 2016 hingga sekarang. Bersama keluarganya, ia memilah sampah, mengkompos dan membuat pestisida mandiri, menanam tanaman yang dapat dimakan, dan membuat pupuk. Ia juga aktif untuk pelatihan pengelolaan limbah rumah tangga dan beberapa kali menjadi narasumber untuk seminar lingkungan. 

SUS Bertanya, Ka Ida Menjawab

Apa yang mendorong Kak Ida untuk mendirikan bank sampah dan memulai sustainable lifestyle, serta turut aktif sharing kepada mahasiswa dan organisasi?

Awal mengenal sustainable di tahun 2016, saat itu ada event Plastic July tidak terpikirkan bisa sampai hari ini. Waktu itu sedang suka-sukanya mulai ngulik ngompos dan belajar membuat Eco Enzyme di Rumbel Berkebun IP Jakarta dan bergabung juga di WAG Plastic Free July 2017 (sekarang WAG TamPah Indonesia).

Saat itu anak kedua saya mulai masuk PAUD dan jiwa hijrah minim sampah saya terusik saat melihat pelataran depan PAUDbanyak sampah plastik dan sedotan bekas jajan murid-murid saat istirahat. Kadang ada bekas pospak yang dibuang begitu saja tanpa dibungkus kresek. Padahal sudah ada tempat sampah di depan PAUD.

Berangkat dari kegelisahan minimnya wawasan memilah di sekitar PAUD dan area tempat tinggal, bersama para Guru dan Wali Murid kami memulai inisiasi program sedekah sampah di hari Jumat sebagai pembiasaan budaya memilah sejak dini. Tercetuslah ide mengapa tidak mendirikan bank sampah sekalian? 🤗

Tahun 2019, SK pendirian bank sampah diresmikan dan mulailah proses perjalanan edukasi rumah dan sekolah ramah lingkungan.

Apakah bisa jelaskan seputar sistem bank sampah dan keseharian yang Kak Ida lakukan dalam upaya menerapkan sustainable lifestyle?

Sistem bank sampah yang kami kerjakan hingga kini sederhana saja, sebelum bekerjasama dengan dinas LH Kecamatan Jagakarsa dan Satpel Kelurahan Ciganjur, kami mencari lapak yang bersedia menampung sisa anorganik yang kami himpun dari murid PAUD dan warga. Pembukuannya pun sederhana sekali, kami hanya punya 2 buku yaitu buku database anggota bank sampah dan buku jurnal laporan keuangan bank sampah yang sejatinya isinya adalah laporan list harga semua jenis sisa anorganik beserta laporan penjualan dan pemasukan bank sampah. 

 

Selain saya, ada 2 orang staff tetap bank sampah yaitu yang bertugas catat-mencatat dan satu orang lagi bertugas sebagai bendahara. Sementara saya sendiri bertugas koordinasi dengan kelurahan, kecamatan dan semua pihak terkait edukasi dan sosialisasi. Seiring dengan waktu, kami menambah kerjasama dan melebarkan sayap mendirikan juga bank jelantah bekerjasama dengan RSIK Kutub dan belijelantah.com.
Keseharian saya di rumah, sama seperti ibu-ibu biasa lainnya yang berkutat dengan anak-anak dan urusan domestik. 

 

Hanya saja dalam menjalankannya saya berusaha menjadikan kebiasaan minim sampah jadi rutinitas yang menyenangkan dan mudah dikerjakan bersama anggota keluarga yang lain. Setiap habis makan, mereka tahu harus taruh dimana sisa kulit buah atau sisa makanan karena saya rutin membuat Eco Enzyme, MOL, Pupuk Organik Cair dan Pestisida Nabati dari semua sisa organik sebagai penunjang kebutuhan berkebun saya. 
 

Saat mencuci kemasan plastik, dianggap sebagai bagian dari cucian piring. Anak-anak sudah dibiasakan bertanggung jawab dengan bekas kemasan yang mereka hasilkan, kalau gak mau capek nyuci ya jangan banyak jajan dan harus cukup puas dengan apa yang saya siapkan di rumah atau kalau mau  repot sedikit harus mau masak sendiri😁
 

Cara ini jitu sekali, kami jadi lebih peduli dengan asupan makanan kami sehari-hari dan berpikir ulang saat menggunakan uang. Hemat beda tipis dengan pelit ya, bukannya bela diri tapi ini tentang lebih mencintai diri kami sendiri daripada sebelumnya.  Kami juga jadi penuh perencanaan dalam hal apapun, sebisa mungkin apa yang kami lakukan tidak memiliki dampak buruk bagi orang lain maupun lingkungan. Kalau bisa, semua aktivitas konsumsi kami jangan bersisa. Bisa diselesaikan dalam close loop, dimanfaatkan kembali  sebelum semua sisa organik benar-benar berakhir di komposter dan tempat sampah residu. 
   

Ini tentang bagaimana kita melihat dan memperlakukan sesuatu itu tidak mudah dibilang sebagai sampah. Karena sampah kita bisa jadi masih merupakan harta karun bagi orang lain. Karena sejatinya, dengan hidup minim sampah kita sudah menolong diri sendiri dan orang lain dengan tidak hanya memindahkan sampah yang kita hasilkan ke tempat lain. Kita sudah meminimalisir dampak lingkungan yang mungkin muncul jika kita masih buang sampah sembarangan dan beranggapan bahwa buang sampah itu cukup di tempatnya.
   

Di semua sesi sharing dan edukasi yang pernah saya hadiri, kebanyakan warga belum tergerak untuk memilah karena memang belum tahu dampak perilaku tidak memilah sampah. Masih menganggap sampah yang disumbang ke TPA akan hilang menguap begitu saja. Padahal tidak sama sekali, selain bahaya gas metana dari akumulasi tumpukan sampah yang menggunung, ada cemaran badan air dari air lindi yang dihasilkan tumpukan sampahnya. 
 

Terbayang kan, jika kita mau mengelola sampah dari dan di dapur kita sendiri, tidak disumbang lagi ke TPA, kita sudah menolong warga sekitar dari dampak polusi udara, air dan tanah. 
   

Bagi muslim, tentu familiar dengan hadist tentang kewajiban tolong menolong dalam kebaikan, sebagai bagian dari fitrahnya di muka bumi yaitu sebagai pemelihara alam. Melihat kerusakan bumi baik di darat dan laut yang begitu nyata, sudah saatnya kita tergerak dan bergerak... karena ancaman dari perubahan iklim sudah di depan mata dan nyata adanya.

Apa bisa Kak Ida jelaskan manfaat nyata yang Kak Ida dan keluarga rasakan akibat konsistensi Kak Ida dan keluarga dalam menerapkan sustainable lifestyle secara mandiri?

Manfaat yang nyata, kami lebih hemat karena kami sudah dapat mengurangi biaya:

  1. Belanja sayur sehari-hari karena sekarang belanja dan pemanfaatannya penuh perencanaan. Tidak berlebih-lebihan, secukupnya.

  2. Belanja kebutuhan kamar mandi, walau masih selang-seling dengan produk pabrikan setidaknya kami sudah membuat sabun mandi, larutan pel lantai, pembersih kamar mandi sendiri.

  3. Lebih hemat dalam belanja kebutuhan rumah, yang kami beli adalah yang benar-benar kami butuhkan dan sebisa mungkin belanja dulu di dalam rumah (reuse).

  4. Belanja media tanam dan pupuk bisa dikurangi.

 

Pos-pos tersebut dialihkan ke belanja buah lebih banyak, menambah tabungan, juga untuk menambah modal usaha toko produk ramah lingkungan yang saya rintis dari 2018. Memang belum sempurna, masih banyak zerowastefail disana sini dan ini adalah bagian dari proses perjalanan keluarga kami yang masih berusaha menerapkannya disesuaikan dengan budaya keluarga kami.

Apakah bisa diceritakan tantangan yang Kak Ida rasakan selama menjalankan bank sampah dan sustainable lifestyle?

Tantangan yang terbesar adalah dari keluarga sendiri, saat mereka mereka asing dengan apa yang saya kerjakan di awal-awal mengenalkan hidup minim sampah. Bahkan anak sulung saya sempat melontarkan pertanyaan apakah saya mulai jadi seperti pemulung? 


Suami saya pernah membuang komposter saya ke tong sampah karena banyak maggot yang naik ke teras dan masuk kamar anak saat kena tampiasan hujan. Tengah malam pernah harus ngepel karena jerigen Eco Enzyme ada yang bocor dan terkontaminasi udara yang bikin dapur saya lumayan bau asyemmm😁 Tentunya hal ini jadi bagian dari perjalanan trial and error dan sampai saat ini saya masih belajar menambah wawasan dan jam terbang dalam tata kelola limbah rumah tangga ini. 
   

Tantangan lainnya adalah kemajemukan penerimaan di lapangan yang notabene lebih menantang dibanding sharing di sebuah komunitas yang sefrekuensi, saat sesi sharing ada saja peserta yang komentar betapa repotnya harus menunggu lama dalam pemanfaatkan sisa organik sebelum jadi produk yang lebih berguna. Dan merasa kepraktisan yang ditawarkan oleh produk pabrikan adalah dewa penolong. 
   

Namun dari sekian tantangan, yang paling membuat daya sempat drop adalah saat lahan bank sampah harus ditutup due to pandemi. Sempat patah arang, sedih mengingat walau pandemi bukankah pemilahan seharusnya lebih dikuatkan? Selama masih beraktivitas, maka sampah akan tetap dihasilkan. 
 

Ditambah satu per satu staff bank sampah pindah atau alih profesi karena kesulitan ekonomi di awal-awal pandemi dan ini tidak terjadi hanya pada kami. Di luar sana sudah banyak Bank sampah yang berhenti beroperasi. Bank sampah kami pun resmi hanya dikelola oleh saya sendiri. 
   

Fokus pada masalah tidak akan membawa perubahan, kemudian saya fokus pada solusi dengan menjadikan teras rumah saya menjadi Drop Points Montong yang menampung hasil pilah anorganik dan jelantah warga hingga sekarang. 
   

Saya berdayakan media sosial sebagai media edukasi dan sosialisasi. Alhamdulillah masih bisa berdaya dari rumah, disamping tugas utama saya membersamai proses belajar anak-anak. Dan bonusnya, dapat banyak berbuat untuk warga sekitar, membahagiakan para Janda Sepuh dan anak yatim  sekitar rumah yang tidak ternilai harganya.

Apakah pesan Kak Ida sebagai aktivis lingkungan kepada anak muda diluar sana terkait sustainable lifestyle dan plastic free? 

Pesan saya, jalani dan nikmati dengan bahagia prosesnya disesuaikan dengan kepribadian dan gaya konsumsi kita. Sejatinya sustainable lifestyle merupakan ilmu yang terus berkembang, dapat membawa kebermanfaatan jika kita melakukannya dengan hati yang bahagia💚kita tidak bisa mengeluhkan sesuatu jika kita tidak jadi bagian dari suatu perubahan. Jika ingin situasi berubah ke arah yang lebih baik, alih-alih menuntut orang lain/lingkungan mengikuti kehendak kita, kita dulu yang harus berubah.

Kampanye Gaya Hidup Berkelanjutan (Sustainable Lifestyle) untuk Kota Bekasi 

Sekali, untuk Selamanya

bottom of page